Assalamualaikum,
Saat ini seberapa sering kita mendengar berita kehilangan dari keluarga, sahabat, kerabat, tetangga bahkan orang yang tidak di kenal di laman media sosial. Saat ini kondisi Negeri tercinta memang sedang tidak baik-baik saja. Melihat banyaknya peti mati yang disemayamkan ke dalam tanah, membuat hati terus teriris, diri hanya bisa bersabar dan bersyukur. Menyadari bahwasanya musibah ini memang sedang diujikan kepada kita semua.
Dari awal masuknya pandemi, kita sudah banyak mendengar bahwa tidak sedikit yang kehilangan mata pencahariannya, drastis berkurang penghasilannya bahkan itu menimpa dari keluarga terdekat dan bahkan diri sendiri. Bagaimana kesehatan merenggut kebahagiaan, bagaimana kesehatan memisahkan ruang dan membuat jarak amat jauh, tidak boleh berdekatan apalagi disentuh. Sekarang begitu seringnya membaca di laman media sosial dari keluarga, sahabat dan kerabat yang membutuhkan oksigen, ataupun plasenta dengan kriteria tertentu. Dan sekarang, begitu menyayat hati ketika hampir setiap hati aku mendengar berita kehilangan, dari orangtuanya, suaminya, istrinya, temannya, kerabatnya, sanak saudaranya, dsb.
"Kesehatan merupakan rezeki teratas, sedangkan harta adalah rezeki terendah". Aku mendalami kalimat yang disampaikan oleh seorang tokoh dan memahaminya. Bahwa benar adanya, buat apalah harta banyak namun kita habiskan untuk 'membeli' kesehatan. Oksigen yang Allah kasih secara cuma-cuma ini untuk orang sehat sekarang amat sangat dibutuhkan orang yang sedang diambil nikmat sehatnya. Sebagian contoh kecil bahwa nikmat sehat ini banyak terlupakan oleh kita.
Kejadian ini juga menjadikan aku belajar apa itu arti kehilangan. Ternyata memang nyatanya kita semua, apa yang kita miliki seperti punya batas limit, tidak ada yang abadi di dunia. Ada saatnya barang tang kita miliki rusak atau berpindah kepemilikan entah bagaimana cara/alasannya. Pernah kehilangan barang berharga? ya mungkin sudah habis limit kepemilikan pada diri kita, dan berpindah pada orang lain.
Ini termasuk dengan jiwa orang-orang yang kita sayang, suami/istri, anak, orang tua, keluarga, bahkan diri kita sendiripun punya limitnya. Pernah kehilangan orang tercinta? baik itu bercerai dengan suami/istri yang artinya memang mereka sudah habis limit dan ketika mereka menikah lagi, sudah jadi kepemilikan orang lain. Atau meninggal? Apakah diri kita duluan ataupun anak, suami/istri, keluarga semua memang sudah ada batas yang pasti dari garis takdir Allah. Nyatanya, kita hanya sendiri.
Kehilangan mengajarkan kita bahwa apa yang kita miliki memang semua hanyalah titipan dari Sang Maha Kuasa. Jika waktunya telah tiba, kita harus ikhlas. Illahi ingin mengambil hak-Nya, bukan Hak kita. Banyaknya, kita merasa kepemilikan dunia adalah menyeluruh, seutuhnya. Bahkan ketika aku kehilangan handphone saja serasa sangat terdzolimi, padahal ya mungkin memang limit handphone tersebut sudah habis untuk menjadi kepemilikan diriku dan beralih ke orang lain.
Kehilangan mengajarkan bahwa kita tidak tamak dan banyak bersyukur atas apa yang Allah beri saat sekarang ini. Bersyukur atas hidup yang dijalani saat ini, apa yang dititipkan Allah pada kita saat ini, sekarang ini. Anak, suami/istri, orang tua, sahabat, kerabat, orang-orang tersayang juga harta yang kita nikmati, makanan yang kita makan, dsb.
Jalani, nikmati dengan penuh kesyukuran dan kesabaran karena pada dasarnya kita akan kembali 'Sendiri'.
Peluk erat semua sahabat, kerabat dan teman-teman yang mengalami banyak kehilangan karena pandemi ini. Diluar beberapa pemikiran tentang konspirasi, kebohongan, bisnis, settingan, dsb. Yang entah benar/tidak, namun yang jelas dan nyata adalah banyaknya kehilangan yang dirasakan. Jika hati dan pikiran masih bergelut dengan sesuatu yang belum tentu benar dan diluar batas kemampuan diri kita, hanya kesia-siaan yang akan hadir, pikiran negatif dan suuzon atas segala yang terjadi malah akan menambah beban diri. Tentang evaluasi pemerintah terhadap penanganan hal ini, itu hal yang berbeda yang tidak dibahas disini, apakah akan dibahas di next tulusan?
Disini hanya fokus masalah sosial, menyangkut empati juga bahan evaluasi diri. Mari fokus pada hal yang 'real' dihadapan kita dulu, tumbuhkan empati pada sesama, masa sih segitu banyaknya kehilangan nyawa, keluarga, sahabat, orangtua yang nyata dihadapan kita, masih saja tutup mata dan telinga?. Masa sih sebegitu banyak yang sakit dan terpapar, belum lagi beban hidup bertambah sulit, kita tetap acuh dan memikirkan asumsi sendiri? Fokuslah pada solusi sesuai kemampuan diri dan harapan kita semua, semoga segera berlalu pandemi ini, stabilkan kembali kehidupan kami dan Allah angkat derajat kami dengan lulusnya ujian masa pandemi yang cukup melelahkan ini. Semoga dan segera Allah kabulkan. aamiin yra.
Aamiiin, semoga pandemi ini Cepet berakhir ya mba :(. Jujur makin kesini aku makin kuatir dan drop kalo udh denger musolla mesjid ngabarin siapa warga yg meninggal. Itu tiap hari belakangan ini :(. Buka medsos yg kebaca temen2 yg msk ICU dan meninggal.
ReplyDeleteTapi kalo mood makin drop, aku lgs mikir, ya udahlah. Terima aja dulu keadaannya memang begini. Jgn dibuat stress. Toh memang kita semua milik Allah. Kapanpun akan dipanggil, ya harus siap dan ikhlas .. itu sedikitnya membantu aku utk bisa trima dan belajar ikhlas
betul mba. untuk menghilangkan kekhawatiran berlebih tentang covid ini juga aku mulai stop dan selektif dalam menerima berita tentang covid. fokus dengan kegiatan positif yang menyenangkan saja dirumah.
Deletebetul, makasih mengingatkan diriku juga
ReplyDeletesama-sama mba, pengingat bersama...
DeleteAamiin... Semoga pandemi cepat berlalu ya...
ReplyDeleteSetuju, hidup mati kita sudah ditentukan jauh sebelum pandemi... Cuma bisa berusaha dan berdoa, semoga Allah selalu melindungi...