Assalamualaikum,
Ilmu tenang pengasuhan anak ini bukan hanya tentang ibu, namun juga ayah. Bagaimana ayah mengambil posisi penting dalam pengasuhan. Dan bagaimana fenomena saat ini yang tidak sedikit para ayah yang enggan terjun ikut dalam pengasuhan bersama ibu. Hal ini membuat ibu menjadi sangat bingung dalam bersikap, harus bagaimana agar ayah mau berperan dalam pengasuhan?. Alhamdulillah dapat kesempatan ikutan kuliah whatsapp tentang Bagaimana Melibatkan Ayah dalam Pengasuhan, yang diisi oleh teh Karina Hakman, B.Comm., M.Buss. yang merupakan seorang homeschooler dari 3 anak, penulis dan praktisi parenting. Resume-nya saya share dan save disini ya, semoga kebermanfaataknnya meluas.
Isu kurangnya keterlibatan Ayah dalam pengasuhan anak termasuk dalam isu global yang disebabkan oleh beragam faktor. Salah satu yang bisa kita highlight adalah pada masa peperangan di mana laki-laki yang berangkat berperang sehingga pengasuhan anak didominasi oleh para ibu. Kemudian pada zaman Rasulullah SAW, menurut sebagian riwayat para sahabat sudah pulang kerja sampai batas waktu ashar. Namun demikian pondasi-pondasi awal perlu kita ketahui yang nantinya akan menjadi penting dalam melibatkan Ayah pada pengasuhan anak.
Pondasi Awal
1. Menyamakan Frekuensi, tujuan Pendidikan anak dalam Islam
”Wahai orang-orang yang beriman! Peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu; …” (Q.S. At-Tahrim: 6)
Di sini kita perlu menyamakan frekuensi terkait pendidikan anak dalam Islam. Apabila sudah satu frekuensi maka akan memudahkan kita untuk mengobrolkan tentang membangun keluarga. Ayat ini hampir selalu digunakan dalam pembahasan tujuan mendidik anak, tujuan pendidikan anak, dan tujuan pendidikan keluarga. Selain itu, juga merupakan dasar minimal dalam rumah tangga. Setiap pengambilan keputusan yang diambil dalam sebuah pernikahan atau keluarga sebaiknya di awali dari ayat tersebut. Misalnya dari memilih calon pasangan. Dalam konteks ini kita bisa memulai dengan memilih calon suami yang artinya kita sedang memilih calon Ayah sehingga bisa memiliki frekuensi yang sama.
2. Menyamakan frekuensi, pembagian peran Pendidikan di dalam Islam
”Laki-laki (suami) itu pelindung bagi perempuan (istri), karena Allah telah melebihkan sebagian mereka (laki-laki) atas sebagian yang lain (perempuan), dan karena mereka (laki-laki) telah memberi nafkah dari hartanya, …” (Q.S. An-Nisa: 34)
Sebagaimana yang kita ketahui bahwa laki-laki adalah Qawwaam bagi para perempuan. Menurut Ustadz. Jalaluddin Asy-Syathibi maknah Qwwaam secara umum adalah bahwa pemimpin-pemimpin negara adalah selalu seorang laki-laki. Hal ini bukan untuk mendegradasi kemampuan perempuan. Namun hal ini sudah masuk dalam peran yang ditetapkan oleh Allah SWT.
Begitupun dalam sebuah keluarga. Ketika seorang laki menjadi suami, maka dia adalah qawwam bagi istrinya. Dan Ketika dia menjadi ayah, dia menjadi qawwam untuk anak-anaknya. Bahkan apabila si ayah sudah wafat, dan diantara anak-anaknya ada yang laki-laki, maka anak laki-laki tersebut menjadi qawwam bagi keluarganya.
Dan pembagian peran ini sudah menjadi ketetapan Allah SWT yang kita terima. Allah SWT yang Maha Mengetahui dan Maha Bijaksana. Ini semua sudah menjadi kebijaksanaan Allah SWT.
Lebih lanjut, Qawwam berasal dari kata qaama yaquumu yaitu sesuatu yang berdiri. Menurut Ustadz Abdul Aziz Abdur Rauf, maka peran seorang qawwam baik dia suami maupun seorang ayah adalah menjaga supaya keluarga ini tetap tegak lurus haniifah di jalan Allah SWT untuk mencapai keluarga yang selamat dari api neraka. Maka yang dimintai pertanggungjawaban terhadap keluarga yang utamanya adalah seorang suami.
Kemudian, menurut Usth. Jalaludin Asy-Syatibi Qawwam juga bermakna melindungi. Maka seorang Qawwam dalam keluarga dia bertugas melindungi istrinya, melindungi anak-anaknya dari segala bahaya. Baik melindungi secara fisik, seperti memberikan nafkah atau tempat tinggal; maupun melindungi secara psikologis seperti memberikan kasih sayang, pengertian, bimbingan dan kebutuhan psikologis lainnya. Qawwam juga memiliki peran dalam mendidik. Baik mendidik secara langsung maupun dengan cara memberikan sarana-sarana atau fasilitas Pendidikan bagi keluarganya.
Allah SWT berfirman dalam Q.S. Al-Baqarah: 223.
”Istri-istrimu adalah ladang bagimu, maka datangilah ladangmu itu kapan saja dan dengan cara yang kamu sukai. Dan utamakanlah (yang baik) untuk dirimu. Bertakwalah kepada Allah dan ketahuilah bahwa kamu (kelak) akan menemui-Nya. Dan sampaikanlah kabar gembira kepada orang yang beriman.”
Menurut Ustadz Jalaludin Asy-Syatibi apabila ditinjau dari sisi parenting ayat di atas merupakan bahasa kiasan yang menerangkan bahwa seorang istri adalah ladang bagi suami baik secara fisik maupun secara psikologis dalam proses pendidikan anak. Secara fisik benih ditanam di telurnya istri yang kemudian mengandung. Kemudian secara psikologis yaitu Ketika anak sudah ada dalam janin maka proses Pendidikan sudah berjalan. Seperti anak sudah bisa diajak komunikasi saat masih dalam kandungan, di situ anak akan merasakan apa yang dirasakan ibu dan bisa mendengarkan apa yang dibicarakan oleh ibu.
Selain dari pada itu, pasca anak lahir hendaklah seorang ibu menyusui anaknya selama 2 tahun penuh bagi yang ingin menyusui secara sempurna. Dan kewajiban bagi ayah menanggung nafkah dan pakaian mereka dengan cara yang patut. Hal ini dijelaskan dalam firman-Nya yang artinya:
”Dan ibu-ibu hendaklah menyusui anak-anaknya selama dua tahun penuh, bagi yang ingin menyusui secara sempurna. Dan kewajiban ayah menanggung nafkah dan pakaian mereka dengan cara yang patut. Seseorang tidak dibebani lebih dari kesanggupannya.” (Q.S. Al-Baqarah: 233)
3. Urgensi Keterlibatan Ayah
Keluarga Teladan di dalam Al-Qur’an
” Sesungguhnya Allah telah memilih Adam, Nuh, keluarga Ibrahim dan keluarga Imran melebihi segala umat (pada masa masing-masing),” (Q.S. Al – Imran: 33)
Allah SWT memilih Ibrahim dan Imran satu keluarga. Sampai saat ini kita masih merasakan setiap kali shalat kita bershalawat kepada Rasulullah SAW sebagaimana Engkau Ya Allah bershalawat kepada Ibrahim dan keluarganya. Jadi, ini menunjukkan betapa tingginya keluarga Ibrahim. Apabila kita kembali mengingat kisahnya, bahwa bukan hanya Nabi Ibrahim yang shalih, namun kedua istrinya pun shalihah Sarah dan Hajar. Juga kedua anaknya yang shalih yaitu Ismail dan Ishaq. Lebih lanjut, apabila kita melihat keluarga Imran yang bukan nabi dan Rasul, tapi Allah pilih satu keluarga dan dijadikan sebagai nama surat yaitu surat Ali-'Imran yang kemudian dari keluarga Imran ini melahirkan anak perempuan yang bernama Maryam Binti 'Imran yang juga Allah SWT jadikan sebagai nama surat ke-19 yaitu surat Maryam.
Lalu, kita bisa mulai darimana?
1. Membangun visi pewaris Bersama sejak awal (bahkan sebelum) menikah
Komunikasi dan diskusi itu harus ada, bahkan sebetulnya sebelum menikah. Bahkan dalam surat Ash-Shaffat ayat 100, Nabi Ibrahim berdo’a kepada Allah untuk dianugrahkan anak yang shalih.
”Ya Tuhanku, anugerahkanlah kepadaku (seorang anak) yang termasuk orang yang saleh.”
Apabila kita melihat kembali pewaris visi yang diberikan oleh Nabi Ibrahim kepada anak-anaknya adalah nilai Tauhid. Hal ini sebagaimana yang telah termaktuk dalam Q.S Al Baqarah: 131 – 132.
” (Ingatlah) ketika Tuhan berfirman kepadanya (Ibrahim), "Berserah dirilah!" Dia menjawab, "Aku berserah diri kepada Tuhan seluruh alam. Dan Ibrahim mewasiatkan (ucapan) itu kepada anak-anaknya, demikian pula Yakub. "Wahai anak-anakku! Sesungguhnya Allah telah memilih agama ini untukmu, maka janganlah kamu mati kecuali dalam keadaan muslim."
Dengan demikian, nasihat untuk para ayah apabila memiliki waktu yang sedikit kepada anak-anaknya maka jadikan waktu tersebut sebagai waktu berkualitas dengan memasukkan hal-hal yang fundamental, bukan hanya berupa arahan yang terus menerus diberikan.
Bahkan di atas itu, visi warisan juga terdapat dalam Q.S. Al-Furqan: 74.
"Dan orang-orang yang berkata, "Ya Tuhan kami, anugerahkanlah kepada kami pasangan kami dan keturunan kami sebagai penyenang hati (kami), dan jadikanlah kami pemimpin bagi orang-orang yang bertakwa."
Para Ibaadur Rahman ini ada para orang-orang yang berdo’a dan memohon, meminta kepada Allah SWT keturunan yang menjadi penyejuk hati, penyejuk mata dikarenakan oleh iman dan memohon untuk dijadikan sebagai keluarga yang mengajak orang lain untuk bisa beramal shalih.
2. Ta’aruf, Tafahum, Takaful dalam balutan baik sangka dan cinta
Ini merupakan konsep yang basic. Seseorang yang betul-betul memahami agama dan dia betul-betul menikah dengan orang-orang yang memahami agama, minimal untuk kebutuhan dirinya seharusnya ia akan mendapatkan pernikahan yang baik. Sebab, begitu banyak konsep di dalam hubungan suami istri yang sebetulya tentang keharmonisan sesama mukmin, sesama muslim.
Diantara tanda-tanda kebesaran Allah SWT adalah Allah menjadikan pasangan bagi sesama manusia yang sejiwa, belahan hati, yang paling jadi _soulmate_ agar menjadi Sakinah, Mawaddah, Wa Rahmah.
Allah SWT berfirman ;
”Wahai manusia! Sungguh, Kami telah menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan, kemudian Kami jadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku agar kamu saling mengenal. Sungguh, yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling bertakwa. Sungguh, Allah Maha Mengetahui, Mahateliti.” (Q.S Al-Hujuraat: 13)
Ayat di atas menerangkan bahwa seorang istri dan suami berasal dari latar belakang yang berbeda. Sehingga dalam bab pengasuhan untuk melibatkan ayah dalam pola asuh, ibu harus mengenal dulu siapa dan bagaimana ayah dari anak-anaknya.
Ketika kita ingin melibatkan suami kita dalam proses pengasuhan anak dan kita melihat ada beberapa kekurangan, maka kita bisa intropeksi diri. Karena pernikahan itu sekufu, dan sekufunya dari taqwa. Oleh karena itu, dengan adanya ta’aruf atau mengenal satu sama lain yang diiringi oleh baik sangka maka akan mudah untuk lebih memahami bahkan dengan lirikan mata.
Selanjutnya, apabila ta’aruf dan tafahum sudah terbangun maka In syaa Allah takaful akan lebih mudah. Takaful adalah saling tolong menolong sebagaimana firman Allah SWT dalam Q.S. Al-Baqarah: 187)
” Mereka adalah pakaian bagimu, dan kamu adalah pakaian bagi mereka”
Menurut Ustadz Jalaludin Asy-Syatibi bahwa pakaian ini memiliki fungsi menutupi aib ataupun menutupi sesuatu yang harus kita tutupi. Maka suami istri apabila memiliki aib satu dengan yang lain ditutupi terlebih dahulu, kemudian saling tolong menolong dan diperindah satu sama lain.
3. Bertahap penuh kebijaksanaan
Dalam hal ini istri bagaiman para istri bersabar bertahap penuh kebijaksanaan pada saat ingin melibatkan suami dalam proses pengasuhan. Hal ini dilandasi dalam Q.S. An-Nahl: 125.
” Serulah (manusia) kepada jalan Tuhanmu dengan hikmah dan pengajaran yang baik, dan berdebatlah dengan mereka dengan cara yang baik.”
Artinya apabila kita ingin mengajak suami untuk terlibat dalam pengasuhan, fokus utamanya adalah pada diri kita yang menjadi istri maupun ibu yang baik untuk anak-anak. Dalam kaidah dakwah itu namanya membangun Tsiqoh (rasa yakin, taat percaya sekaligus). Sehingga seorang suami apabila sudah Tsiqoh kepada istrinya, apapun yang disampaikan istrinya ia percaya, walaupun jangan juga terlalu berlebihan.
Berbicara tentang ranah akademis, secara psikologis manusia memiliki kemampuan menerima nasihat yang kapasitasnya terbatas. Oleh sebab itu, apabila kita ingin memberikan nasihat sifatnya bertahap. Begitupun juga yang bisa dilakukan oleh pasangan suami istri yang saling memberikan nasihat secara bertahap dan lemah lembut. Sehingga tidak perlu dengan cara mengomel-ngomel untuk membawa hubungan yang harmonis.
Allah SWT berfirman dalam Q.S. Ali Imran: 159
” Maka berkat rahmat Allah engkau (Muhammad) berlaku lemah lembut terhadap mereka. Sekiranya engkau bersikap keras dan berhati kasar, tentulah mereka menjauhkan diri dari sekitarmu. Karena itu maafkanlah mereka dan mohonkanlah ampunan untuk mereka, dan bermusyawarahlah dengan mereka dalam urusan itu. Kemudian, apabila engkau telah membulatkan tekad, maka bertawakallah kepada Allah. Sungguh, Allah mencintai orang yang bertawakal.”
4. Membangun Kualitas Waktu dalam segala keterbatasan
Dalam hal ini tugas pertama Ayah kepada anak adalah membangun kelekatan hati. Mengajak anak bermain, membaca Bersama, maupun aktifitas fisik lainnya. Setelah membangun kelekatan hati maka Bersama-sama membangun keteladanan Islami dan mengajak anak untuk bisa terlibat. Seperti berjama’ah ke masjid Bersama. Sebagaimana Nabi Ibrahim yang membangun pondasi Baitullah Bersama Ismail seraya berdo’a kepada Allah SWT.
” Dan (ingatlah) ketika Ibrahim meninggikan pondasi Baitullah bersama Ismail (seraya berdoa), "Ya Tuhan kami, terimalah (amal) dari kami. Sungguh, Engkaulah Yang Maha Mendengar, Maha Mengetahui” (Q.S. Al-Baqarah: 127)
Apabila sudah bisa membangun kelekatan dan keteladanan In syaa Allah akan mudah untuk memberikan pengajaran kepada anak. Sebagaimana Luqman Ketika berkata kepada anaknya dan memberikan pengajaran maupun nasihat yang terdapat dalam Q.S. Luqman: 13.
”Dan (ingatlah) ketika Lukman berkata kepada anaknya, ketika dia memberi pelajaran kepadanya, "Wahai anakku! Janganlah engkau mempersekutukan Allah, sesungguhnya mempersekutukan (Allah) adalah benar-benar kezaliman yang besar."
Apabila kita perhatikan bagaimana nasihat Rasulullah SAW dulu, saat mendidik anak-anak zaman itu beliau banyak sekali menanamkan pondasi-pondasi yang penting tentang *Tauhid* kepada anak-anak usia dini secara bertahap. Apabila pondasi sudah terbentuk maka, in syaa Allah memberikan arahan akan lebih mudah.
5. Menjaga Taat pada allah sekalipun berat
”Maka ketika anak itu sampai (pada umur) sanggup berusaha bersamanya, (Ibrahim) berkata, "Wahai anakku! Sesungguhnya aku bermimpi bahwa aku menyembelihmu. Maka bagaimanakah pendapatmu!" Dia (Ismail) menjawab, "Wahai ayahku! Lakukanlah apa yang diperintahkan (Allah) kepadamu; insyā Allah engkau akan mendapatiku termasuk orang yang sabar." (Ash-Shaffaat: 102)
Hidup itu banyak sekali ujiannya, kita bisa belajar dari kisan Nabi Ibrahim bagaimana beliau menjaga ketaatan dan pengorbanan yang luar biasa kepada Allah SWT. Ayat di atas bisa kita bayangkan bagaimana beratnya seorang Ayah yang menunggu anaknya lebih dari 100 tahun, lalu anaknya pun ditempatkan di Makkah, dan saat bertemu kembali anaknya diminta untuk dikurbankan. Itulah yang beliau pahami pada saat itu. Tapi itulah pengorbanan Nabi Ibrahim. Yang kemudian Allah SWT ganjar dengan balasan terbaik.
6. Taqwa, Tawakal, Do’a
”Barang siapa bertakwa kepada Allah niscaya Dia akan membukakan jalan keluar baginya. Dan Dia memberinya rezeki dari arah yang tiada disangka-sangka. Dan barangsiapa bertawakal kepada Allah, niscaya Allah akan mencukupkan (keperluan)nya. Sesungguhnya Allah melaksanakan urusan-Nya. Sungguh, Allah telah mengadakan ketentuan bagi setiap sesuatu..” (Q.S. Ath-Thalaq: 2-3)
Taqwa yang kita miliki tidak sebatas kita simpan namun, bisa kita wujudkan dalam bentuk ibadah. Sudah banyak metode parenting yang kita pelajari dan kita praktikkan namun anak-anak masih susah untuk diatur. Usut punya usut harta yang berputar di rumah tersebut adalah harta yang syubhat atau harta yang haram, maka segeralah meminta ampunan kepada Allah SWT. Kita harus menjaga Taqwa kita dari berbagai sisi.
Kemudian Tawakal kepada Allah SWT. Jangan kita bertawakal kepada pasangan kita. Dan salah satu wujud dari Tawakal adalah Do’a. sebagaimana do’a Nabi Ibrahim ketika menempatkan anak dan istrinya di tanah gersang bakah yang saat ini kita kenal Makkah.
Diceritakan oleh Syekh Habib Ali Zainal Abidin, Nabi Ibrahim sudah jalan jauh, beliau rindu oleh anak dan istrinya yang sudah tidak terlihat karena saking jauhnyaa. Apa yang Nabi Ibrahim lakukan? Beliau berdo’a sebagaimana dalam Q.S. Ibrahim : 37.
” Ya Tuhan, sesungguhnya aku telah menempatkan sebagian keturunanku di lembah yang tidak mempunyai tanam-tanaman di dekat rumah Engkau (Baitullah) yang dihormati, ya Tuhan (yang demikian itu) agar mereka melaksanakan salat, maka jadikanlah hati sebagian manusia cenderung kepada mereka dan berilah mereka rezeki dari buah-buahan, mudah-mudahan mereka bersyukur.”
In syaa Allah apabila kita bertawakal kepada Allah SWT maka akan Allah cukupkan kebutuhan kita. Dan jangan pernah kita meremehkan do’a, karena pada sesungguhnya do’a merupakan senjatanya orang mukmin. Bukankah Allah SWT sudah menjanjikan untuk dikabulkan do’a bagi hamba-Nya yang meminta kepada Allah SWT.
Do’a itu representasi 2 hal. Pertama, sebagaimana kita bersungguh-sungguh di hadapan Allah SWT. Kedua, seberapa kita yakin kepada Allah SWT.
Baca juga : Peran Ayah dalam Pendidikan Keluarga Islam
Closing Statement
Kehidupan itu penuh dengan banyak pilihan. Namun kehidupan akhir hanya ada surga dan neraka. Kehidupan kita di dunia ini hanya sebentar dan di akhirat nanti kita mau masuk yang mana. Dan perjuangan kita tentunya harus besar untuk mencapai surga tertinggi. Oleh karena itu, kita bisa bersabar sejenak dalam mendidik anak-anak kita, Walaupun itu bukanlah hal yang biasa untuk kita sekarang ini. Kita memilih untuk mendidik dan mendampingi anak-anak kita dengan perjuangan yang lebih semata-mata karena Allah SWT. Semoga kita dimasukkan ke dalam surga Allah SWT.
Comments
Post a Comment