Menghadapi Krisis Identitas pada Diri, Ini Aku Alami Sendiri

 Assalamualaikum, 

Sudah hampir 1,5 tahun berjalan baru aku sadari bahwa sudah cukup lama aku terperangkap dalam krisis identitas ini, bahkan mungkin lebih. Menjalani LDM menjadi puncak krisis identitas diriku di 1,5 tahun terakhir ini.  Yang sebelumnya saat menjadi ibu rumah tangga, diri sudah banyak melebur dengan rutinitas sehingga seringnya lupa dengan diri sendiri, namun status menjadi 'Ibu Rumah Tangga' tetap menjadi aku cukup kuat karena hampir semua aku handle, mengurus rumah, anak-anak dan suami. Namun setelah menjalani LDM yang hampir 1,5 tahun ini aku merasa tidak optimal dalam menjalankan peranku sebagai ibu rumah tangga, karena ternyata suami mengurus dirinya sendiri disana, bahkan sedikit banyaknya ia kerepotan sendiri. Ditambah dengan kembali satu rumah dengan orang tua membuat aku merasa ini bukan rumahku, tidak seleluasa ketika dulu ketika pisah tinggal dengan orangtua. Walau masih mengontrak aku merasa begitu memiliki 'rumah' sehingga leluasa melakukan apa saja yang aku mau. Dan lagi aku merasa masih merepotkan orang tua dengan seperti ini, dengan kondisi ini aku merasa belum mandiri padahal sebelumnya kami bisa mandiri. Bagaimanapun hal ini menjadi berat buatku, apalagi ketika awal-awal adaptasi dulu, hampir setiap malam menangis, aku sering menyalahkan diri sendiri juga orang lain tentang keputusan LDM ini.

ya! hal ini yang menyebabkan puncak krisis identitasku, aku merasa identitasku sebagai ibu rumah tangga tidak lagi optimal seperti dulu. Aku tidak punya 'rumah' yang aku miliki seutuhnya seperti dulu, aku tidak bisa berperan optimal dalam mengurus suami seperti dulu. Karena LDM keuangan kami begitu berantakan karena suami harus pulang pergi setiap minggu. Aku juga merasa kembali menjadi beban orang tua yang seharusnya aku sudah mandiri dan membantu mereka. Aku bertanya-tanya "apa sebenarnya peranku sekarang?" karena semua begitu berantakan. Karena hal ini aku banyak menyalahkan diri sendiri, banyak memendam dan mencari peran lain yang lebih membanggakan, namun kembali aku belum menemukan aku harus menjadi apa agar semua kembali seimbang?

Hal ini membuat aku sering merasa khawatir, takut dan overthingking atas hal-hal di masa depan. Walau aku melakukan rutinitas seperti biasa, melakukan produktifitas dengan apa yang aku bisa, namun tetap ada hal yang menjadi beban yang kemudian membuat aku terus mempertanyakan tentang diriku, peranku, dan apa yang bisa aku berikan, aku menuntut banyak hal pada diriku sendiri. Belum lagi hal-hal yang aku kerjakan hasilnya tidak begitu berprogres baik seperti yang aku harapkan, hal ini menambah diri semakin tidak berharga.

Sampai aku merasa begitu lelah dengan keadaan dan sekitar 3 minggu lalu aku off medsos dan mengikuti beberapa podcast tentang pengembangan diri. Aku merasa butuh 'rehat' sambil meraba-raba apa sebenarnya yang aku mau agar merasa lebih baik. Dari beberapa podcast yang aku ikuti, aku mengambil beberapa action untuk mengobati krisis identitas ini dengan 3 hal, diantaranya :

1. Journaling

Aku menulis 3 lembar setiap hari atas apa saja hal-hal yang aku rasakan, pikiran-pikiran yang sering berbicara didalam kepala. Aku menulis secara random apa saja yang saat itu terlintas di benak. Journaling ini berbeda dengan biasanya karena bukan melihat tentang keindangan dan struktur bahasa namun lebih pada mengeluarkan apa saja yang kamu pikirkan dan rasakan. 

Pikiranku sudah seperti benang kusut yang setiap hari saling berlarian kesana kemari tanpa arah. Jurnaling membantuku mengurai benang itu satu persatu lagi. Aku mengeluarkan isi pikiranku juga perasaanku saat itu dan saat-saat dulu yang belum tersampaikan. Perasaan kesal, kecewa dengan keadaan dan diri sendiri bahkan orang lain, seringnya aku pendam dan ini menjadi berat sekali. Sampai sering sekali tanpa sebab aku menangis, dan tidak dapat menahan tangis di situasi yang seharusnya aku tidak boleh menangis. 

Sekitar 4 hari berjalan sejak jurnaling dimulai, aku menangis setiap hari, entah apa yang terjadi namun di hari ke-4 aku merasa lebih lega. Walau aku merasa benang kusut ini masih 1-3 helai saja yang baru terurai, sisanya? tentu masih banyak. Namun ini sangat bekerja baik pada diriku dan aku akan melanjutkan hal ini. 

Oia, tahukah kenapa harus 3 halaman? hal ini untuk membuat kita merasa 'mentok' dan berpikir juga bertanya lebih dalam pada diri sendiri apa yang belum tersampaikan. 

2. Learning

Aku mulai banyak belajar lagi terutama tentang pola pikir atau mindset yang seharusnya aku ambil agar beban ini tidak terlalu berat dan tidak kembali berperang dengan kecemasan masa depan dan overthingking atas segala sesuatu. Beberapa pola pikir yang mulai aku bentuk adalah :

  • Jadilah Multi identitas
Multi identitas membuat kita tidak runtuh hanya dengan merasa tidak optimal di satu identitas saja. Misalnya yang aku alami sekarang, merasa tidak optimal menjadi ibu rumah tangga karena situasi dan kondisi sehingga merasa tidak berharga, tidak optimal dan mengalami krisis identitas artinya merasa diri gagal dari identitas tersebut. Multi identitas membantu diri untuk tetap kuat dan berdiri tegak ketika salah satu identitas tidak berjalan optimal atau merasa gagal di identitas tersebut. 

Contohnya aku bisa membuat diri menjadi multi identitas seperti aku seorang ibu rumah tangga namun aku juga seorang blogger, aku suka menulis dan membuat konten positif mengenai parenting dan kesehatan mental. Sehingga ketika aku merasa ibu rumah tangga ini tidak optimal aku masih memiliki peranku sebagai blogger dan konten kreator juga untuk bisa lebih optimal. Ketika kita memiliki lebih dari satu identitas yang bisa menggambarkan diri kita, ini akan membentuk kita menjadi lebih kuat dan unik. Hal ini juga dapat mencegah dari krisis identitas yang biasanya terjadi.

Contoh lainnya, seorang youtuber ketika ia menggantungkan dirinya hanya sebagai seorang youtuber maka ketika subscreber nya turun drastis atau ada sesuatu kejadian yang view youtube nya hilang. Ia akan merasa gagal dan mengalami krisis identitas. namun, ketika kita tidak menggantungkan diri pada satu identitas saja, ada beberapa identitas yang mencirikan diri kita ini akan membuat kita punya lebih banyak ruang berekspresi dan mengenal diri. 
  • Stop Meromantisasi Masa Lalu dan Hadir di Saat ini
Mengalami krisis identitas, hari-hariku dipenuhi dengan berandai-andai. "andai saja dulu tidak begini", "andai dulu aku begitu". Aku banyak menghabiskan waktu untuk berandai-andai berada kembali di masa lalu yang nyatanya tidak dapat kembali lagi. Aku merasa masa lalu terasa lebih bahagia, lebih keren, lebih baik dibandingkan hari-hari yang aku jalani hari ini. Namun sayangnya masa lalu itu tidak hadir kembali di hidupku. 

Ketika kita banyak melihat kaca spion ketika sedang mengendarai kendaraan, terntu akan menjadi bahaya. Selayaknya kaca spion ia dilihat sesekali untuk mendukung perjalanan agar sampai tujuan dengan selamat. Selebihnya, kita harus melihat kedepan jalan yang sedang kita lalui. Ya! begitulah seharusnya. Kalaupun aku dapat kembali ke masa lalu, apakah aku rela menghilangkan semua hal-hal yang berharga yang sudah aku miliki sampai saat ini?

Hadirlah di saat sekarang ini, waktu yang sedang kamu jalani dan miliki. Dengan hadir kita dapat melihat lebih dalam tentang diri yang sekarang dan jadilah versi terbaik di diri kita saat ini. 
  • Tidak Sedang Berkompetisi dengan Orang Lain
Sering diri merasa 'stuck' tidak berkembang pesat seperti orang-orang. Merasa usaha yang dilakukan tidak berprogres signifikan dibandingkan orang-orang. Aku sering merasa tertinggal jauh dengan mereka dan merasa insecure akan hal tersebut. Aku banyak belajar tentang mindset ini bahwa kita tidak sedang berlomba atau berkompetisi dengan siapapun  di dunia ini. Kita berjalan sendiri-sendiri dengan garis start dan finnish yang berbeda-beda pula. Sehingga jangan merasa tertinggal, kalah dan sebagainya.

3. Mindfullness

Banyak cemas akan masa yang akan datang membuat diri kurang menikmati waktu yang hadir. "Apa semua akan bisa berjlaan dengan baik? apa aku bisa melakukannya? bagaimana anak-anak nanti? sampai kapan kami akan LDM?" dsb. Pikiran-pikiran ini sangat amat membuat lelah sampai aku tidak menikmati hari-hari karena penuh dengan kekhawatiran. Padahal waktu ini lah yang paling mahal krena ia tidak dapat kembali. Cemas-pun tidak akan merubah apapun tentang masa depan yang memang belum terjadi. 

Mindfull atau sadar secara penuh atas apa yang sedang kita lakukan saat ini, sekarang ini menjadi hal yang sedang aku latih. Aku mulai dengan meditasi seperti mengatur nafas, sadari nafas masuk dan nafas keluar. Mulai menghentikan pikiran tentang masa depan dan mulai fokus juga hadir di hal yang aku punya saat ini. Aku melihat baju satu demi satu untuk aku setrika, melihat detail setiap belahan kusut dalam baju untuk aku setrika, aku sadari gerakan tangan untuk mendorong dan menarik setrikaan tersebut. 

Mindfullnes memang tidak datang serta merta, butuh upaya secara perlahan juga konsisten untuk fokus dan menikmati apa yang sedang dikerjakan saat itu. Seperti olahraga, olah nafas, menjauhkan diri dari screen, dll. beberapa upaya yang aku coba dalam menghadirkan mindfull dalam diri. Ini masih berkesinambungan aku lakukan walau saat ini aku sudah memulai aktif lagi membuat konten media sosial namun tetap selalu menjaga kontrol diri dengan latihan mindfull dan memberi jeda. 


Hari ini bertepatan dengan hari Kesehatan Jiwa Sedunia, artikel organik sekaligus perngalaman sadarku yang aku tulis disini menjadi salah satu hadiah atau persembahan untuk hari kesehatan jiwa sedunia ini. Hal-hal kecil seperti ini yang mungkin sering dirasakan banyak orang namun secara tidak sadar menganggap hal ini biasa atau melupakan padahal pengalaman ini salah satu sakit mental sehari-hari yang dialami dan harus segera diantisipasi agar tidak berlarut dan berlanjut ke tahap yang lebih serius. 

Terimakasih sudah berkenan membaca, sekali lagi.. selamat hari Kesehatan Mental Sedunia!

Comments

  1. This comment has been removed by the author.

    ReplyDelete
  2. Aku turut berempati ya mba. Mungkin krisis identitas diri ini terlihat sepele, namun tidak buat orang yang merasakannya. Waktu lulus sekolah saya juga sempat kek gini juga, ke depannya saya jadi apa ya, kalo kayak gini gimana, gitu gimana, tapi akhirnya saya lebih ke pasrah ama takdir Allah. Hidup kita ibarat sinetron, yang skenarionya ditentukan oleh Sang Pemilik hidup. Jadi aku sekarang lebih ke let it flow aja.

    ReplyDelete
  3. Semoga suatu hari nanti, LDM nya bisa berakhir, dan kehidupan kalian sekeluarga back to track ya mbaaa.

    Paham kok rasanya gimana. Merasa gagal di satu bidang. Apalagi suami jauh pula. Tp mungkin kita juga yg belum bisa menemukan ritme nya. Jd masih berantakan. Nanti setelah tahu alurnya, supaya keuangan dan lainnya tidak berantakan, InsyaAllah bisa normal lagi mba

    Dan aku setuju dengan cara multi identitas. Anggap aja itu back up kita kan. Alternatif kehidupan. Jika A gagal, msh ada B, C, D dll.

    ReplyDelete
  4. Turut prihatin dengan segala situasi dan kondidi LDM mbak Nisa dan suami. Mungkin memang tidak semudah itu orang lain memberikan saran. Tetapi aku hanya bisa mendoakan dan bilang bahwa anggaplah ini ujian dan tantangan berumah tangga. Ga apa2 pasti bisa mengatasinya. Semoga suatu hari nanti mbak dan suami bisa berkumpul serumah kembali aamiin.

    ReplyDelete
  5. Semangat selalu kak Nisa, semoga LDM nya ini bisa usai ya sehingga bisa kumpul dan menjalani hari-hari bersama keluarga secara utuh. Jangan lupa jaga kesehatan ya kak

    ReplyDelete
  6. Semangat ya Mb, sebagai oranglain yang tidak masuk ke dalam masalahnya mungkin aku hanya bisa berdoa yang baik-baik, sebab jauh dri suami itu tidak semudah berkata-kata harus begini dan begitu. Yang menjalani yang lebih tahu, Insallah akan berjalan lancar ke depannya, masalah krisis identitas ini aku juga pernah alami dulu

    ReplyDelete
  7. Selalu merasa berkompetisi memang melelahkan banget, lho. Padahal hidup kan tidak selalu tentang kompetisi. Tapi, memang terkadang kita suka gak sadar. Apalagi kalau ego sedang menguasai. Semangat ya, Mbak. Semoga kita sellau sehat fosok dan mental

    ReplyDelete
  8. Kok ini seperti saya mba, dulu saya sering takut mati, takut meninggalkan anak yang masih kecil. Dan banyak lagi ketakutan lain yang sering datang silih berganti. Saya mudah tersinggung, mudah baperan juga ya istilah jaman now. Baper membuat saya berfikir negatif, sekarang masih ada rasa itu, tapi saya coba usir dengan perbanyak istighfar dan sering baca Alquran. Alhamdulillah agak mendingan

    ReplyDelete
  9. Semangat mbak. Terus berproses untuk mengatasi krisis identitas diri ya.
    Saya pun kadang kepikiran juga meromantisasi masa lalu, tapi lalu segera tersadar kalau itu nggak ada gunanya

    ReplyDelete
  10. Semangat mba, peluk virtual. Pastinya tidak mudah melalui masa krisis identitas ini. Apalagi sedang LDM, pasti mudah OVT.

    Semangat terus berproses ya mba. Terutama rajin journaling pasti amat sangat ngebantu. Sama iya berussha seutuhnya hadir di masa sekarang. Mungkin masa lalu terasa jauh lebih sempurna, namun sudah berlalu. Maka harus berusaha menerima serta menjalani yang hari ini sedang dihadapi. Kuat kuat yaa.

    ReplyDelete
  11. Karena itu saya ngeblog, biar saya bisa bebas curhat. Saya ini sebenarnya juga tertekan. Bisa stress kalau saja saya gak bisa memanage diri.
    Alhamdulillah meski melalui internet saya bisa memaksimalkan diri sehingga jiwa dan raga saya bisa menerima segala kondisi yang memberatkan ini

    ReplyDelete
  12. Peluk mbak
    Semangat ya
    Percaya ada hal indah yang ada di depan nanti.
    Masih dalam fase berjuang semoga Mbak Nisa, suami dan keluarga kecilnya dimudahkan urusan, diberi kesehatan dan keberkahan juga dikuatkan.

    ReplyDelete
  13. krisis identitas ini bisa terjadi pada siapa saja ya, mbak dan pastinya ada macam-macam pemicunya. semoga ldm-nya segera berakhir dan bisa kembali menjadi ibu rumah tangga seutuhnya ya, mbak

    ReplyDelete
  14. mba i feel you, in fact i am in that position right now, berharap bisa menghilang entah kemana dan sendiri aja

    ReplyDelete
  15. Menarik juga pembahasan tentang multi identitas supaya kit abisa menjalani peran banyak hal ya dan menemukan yang kita inginkan & merasa happy

    ReplyDelete
  16. Tetap semangat ya, Mbak. Walaupun LDM dan banyak cerita di dalamnya. Mba harus tetap semangat, jangan sampai merasa kehilangan identitas yg aslinya enggak.

    Belajar, pengembangan diri, atau mengisi diri dg hal postifi, Insya Allah akan sangat bermanfaat dan sangat berfaedah.

    ReplyDelete
  17. Berandai-andai dengan masa lalu tuh memang bikin kita kembali tersedot pada masalah2 yg sebenarnya sudah tidak perlu kita ungkit lagi. Tapi gimana yaaa... kadang2 rasa itu datang sendiri kan ya. Semoga kita diberikan kekuatan untuk melampaui masa2 berat dalam hidup kita dengan sebaik2nya.

    ReplyDelete
  18. Aku pun pernah mengalami krisis identitas rasanyaaa huhu. Tapi kalau kaitannya dengan peran sebagai IRT "saja" sebenarnya lebih siap karena emang suka nyadar oh ya ini pilihan yang dibuat. Paling ya sama kek mbak berusaha multi identitas dan berusaha memiliki aktivitas positif, ketemu org2positif juga supaya tangki kejiwaan terisi.

    ReplyDelete
  19. Hebaattt, ka..
    Dari sebuah keresahan, lalu muncullah jalan keluar. Dan aku yakin, tulisan ka Hikmah bisa menjadi inspirasi bagi yang sedang insekyur dengan sebuah masalah.

    Aku pernah juga ada di posisi yang "Kudu nulis Jurnal nih.."
    Karena aku yakin, gak semua orang bisa menerima dengan baik apa yang aku resahkan. Pasti muncul judging judging yang bikin aku makin ovt. Jadi, uda paling baik curhatnya ama Allah, buku diary dan kalau mau ngobrol sama pasangan. Semoga bisa saling menguatkan.

    ReplyDelete
  20. aku pernah berpikir "andai aku dulu begini, andai aku dulu berani ambil keputusan ini itu..", tapi aku sadar, kalau aku terus-terusan melihat ke belakang, aku ga bakalan maju. Mungkin ini krisis identitas yang aku alami
    salut sama mba nisa yang bisa calm mengatasi problemnya, berusaha menyibukkan diri dengan kegiatan positif

    ReplyDelete
  21. Huaa, aku journaling tapi gak rutin rutin banget nih. Seringnya udah kecapean sama anak-anak, jadi malem begitu mau journaling, ya udah keburu ngantuk.

    Mau sebelum ngantuk, takutnya "digangguin" anak-anak, ahaha. Mereka juga pengen journaling juga soalnya. Enak sih bisa bareng-bareng, tapi kadang pengen yang sendirian gitu, ihihi

    ReplyDelete

Post a Comment